Dalam lukisan tersebut, Alaric melukis dirinya dengan teliti: rambut hitam yang mulai memutih di tepiannya, mata yang tajam namun letih, serta tangan yang memegang kuas dengan sisa-sisa cat yang mengering. Tapi di belakang dirinya, berdiri sosok tengkorak. Tengkorak itu tersenyum dengan rahang kosongnya, memegang biola usang, seolah memainkan melodi yang hanya bisa didengar oleh Alaric.
Kisah tentang lukisan itu bermula di suatu malam yang gelap. Alaric sedang bekerja di studionya, mencoba menangkap bayangan bulan di atas kanvas. Namun, malam itu terasa berbeda. Angin yang bertiup membawa suara yang aneh – seperti gesekan senar biola, tetapi sumbang dan menghantui. Alaric menghentikan kuasnya, mengangkat kepalanya, dan mendengarkan.
“Siapa di sana?” tanyanya ke dalam kegelapan. Tidak ada jawaban, hanya melodi samar yang terus berlanjut.
Ketika ia kembali ke kanvasnya, tangannya terasa berat, dan seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang memandu gerakannya. Alaric melukis dengan kecepatan yang tidak biasa. Dalam beberapa jam, ia melihat bayangan seorang tengkorak muncul di belakang dirinya di kanvas. Wajahnya berkeringat, tetapi ia tidak bisa berhenti. Tengkorak itu tersenyum, dan tangan kerangkanya memegang biola.
Ketika lukisan itu selesai, suara biola berhenti. Studio menjadi hening, namun Alaric merasakan kehadiran sesuatu di balik punggungnya. Ia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun. Namun, ia tahu, sosok itu nyata. Sejak malam itu, ia merasa tengkorak itu mengikutinya ke mana pun ia pergi, memainkan biola dalam pikirannya, mengingatkannya akan kefanaan hidup.
Alaric mulai kehilangan tidur. Melodi dari biola itu muncul di mimpinya, memaksanya untuk menghadapi pertanyaan yang selama ini ia hindari: apa yang ia cari dalam hidup ini? Ketika melukis, ia merasa damai, namun melodi itu terus mengganggunya. Ia tahu, tengkorak itu bukanlah ancaman, melainkan peringatan. Sebuah pengingat akan kematian – Memento Mori.
Suatu hari, seorang sahabatnya, seorang pujangga bernama Elias, datang berkunjung. Elias melihat kelelahan di wajah Alaric dan bertanya, “Apa yang terjadi padamu, kawan? Kau terlihat seperti sedang dikejar bayangan.”
Dengan ragu, Alaric membuka kain yang menutupi lukisan itu. Elias terkejut. “Ini… luar biasa,” katanya. “Namun, ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya. Tengkorak itu, apa maknanya?”
“Dia adalah teman sekaligus musuhku,” jawab Alaric pelan. “Dia mengingatkanku bahwa hidup ini sementara, dan setiap kuas yang kugoreskan mungkin adalah yang terakhir.”
Elias memandang lama pada lukisan itu. “Mungkin kau harus melihatnya bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai inspirasi. Jika ia mengingatkanmu bahwa waktu kita terbatas, maka bukankah itu alasan untuk menciptakan sesuatu yang abadi?”
Kata-kata Elias menyentuh hati Alaric. Malam itu, ia kembali mendengar suara biola. Tapi kali ini, ia tidak merasa takut. Ia mengambil kuasnya dan mulai melukis lagi. Dalam setiap goresannya, ia merasa melodi itu membimbingnya, bukan menghantuinya.
Ketika akhirnya Alaric meninggal bertahun-tahun kemudian, lukisan itu ditemukan di studio kecilnya. Orang-orang yang melihatnya merasa seolah-olah tengkorak itu menatap langsung ke jiwa mereka, mengingatkan mereka akan hal yang sama: hidup ini singkat, dan seni adalah salah satu cara untuk membuatnya abadi.
Dan di suatu tempat, di balik bayang-bayang waktu, suara biola itu masih terdengar, memainkan melodi yang mengingatkan kita untuk hidup dengan penuh makna.